Eksplorasi Kota Kediri: Perjalanan ke Situs-Situs Bersejarah





Kota Kediri bukan sekadar kota biasa di Jawa Timur. Dengan sejarah panjang yang membentang sejak era kerajaan Hindu-Buddha hingga masa kolonial, Kediri menyimpan banyak warisan berharga yang masih bisa kita saksikan hingga kini. Dari candi-candi kuno yang menjadi saksi kejayaan Kerajaan Kediri, makam para tokoh bersejarah, hingga bangunan peninggalan kolonial yang masih berdiri kokoh, kota ini menawarkan perjalanan waktu bagi siapa saja yang ingin menelusuri jejak masa lalu.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi berbagai situs bersejarah di Kota Kediri, mengungkap cerita di baliknya, serta menelusuri bagaimana tempat-tempat ini tetap lestari dan menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat setempat. Jika Anda pecinta sejarah atau sekadar ingin menikmati wisata edukatif, Kediri adalah destinasi yang tak boleh dilewatkan. Mari kita mulai perjalanan eksplorasi ini!


Candi Tegowangi 

Candi Tegowangi adalah salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di Kediri, Jawa Timur. Candi ini memiliki nilai sejarah yang tinggi karena diyakini berkaitan dengan upacara sraddha, yaitu ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang telah meninggal.

Letak geografis 

Candi Tegowangi terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, pada koordinat sekitar -7.7275° LS dan 112.0489° BT. Lokasinya berada di dataran rendah dengan ketinggian sekitar +78 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh lahan pertanian dan permukiman warga. Secara geografis, candi ini berada sekitar 13 kilometer di sebelah barat laut Kota Kediri, menjadikannya cukup mudah dijangkau dari pusat kota. Selain itu, Candi Tegowangi juga berada tidak jauh dari beberapa situs bersejarah lainnya di Kediri, seperti Candi Surawana, sehingga sering menjadi bagian dari rute wisata sejarah di kawasan ini. Dengan kondisi lingkungan yang masih alami dan asri, suasana di sekitar candi terasa tenang, menjadikannya tempat yang ideal untuk wisata edukasi dan penelitian sejarah.


Sejarah Pembangunan Candi Tegowangi

Candi Tegowangi adalah salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit yang diperkirakan dibangun pada abad ke-14 Masehi. Berdasarkan catatan dalam Kitab Negarakertagama, candi ini diyakini berkaitan dengan upacara sraddha untuk Bhre Matahun, seorang bangsawan Majapahit yang wafat pada tahun 1388 M.

Tujuan Pembangunan

Pembangunan Candi Tegowangi diduga bertujuan sebagai tempat pemuliaan dan penghormatan terhadap Bhre Matahun, seorang tokoh bangsawan yang belum diketahui identitas pastinya, tetapi memiliki kedudukan penting dalam struktur pemerintahan Majapahit. Dalam tradisi Hindu, upacara sraddha dilakukan sekitar 12 tahun setelah kematian seseorang sebagai bentuk pelepasan roh menuju alam yang lebih tinggi (moksa).

Hubungan dengan Majapahit

Majapahit pada masa itu masih berada dalam masa kejayaan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389 M). Sebagai kerajaan bercorak Hindu-Buddha, pembangunan candi-candi sering kali dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur atau tokoh penting dalam kerajaan.

Candi Tegowangi dibangun di wilayah yang kini masuk dalam Kabupaten Kediri. Kediri sendiri pada masa lalu merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Kadiri, yang kemudian menjadi bagian dari Majapahit setelah ditaklukkan oleh Ken Arok pada abad ke-13. Oleh karena itu, pembangunan candi ini juga bisa dikaitkan dengan upaya Majapahit dalam memperkuat pengaruhnya di wilayah Kediri.

Arsitektur dan Relief

Candi Tegowangi memiliki struktur khas candi-candi Majapahit, terbuat dari batu andesit dengan ukuran sekitar 11,2 x 11,2 meter. Bagian candi yang masih tersisa menunjukkan beberapa relief yang menggambarkan kisah Sudamala, yaitu kisah penyucian seseorang dari kutukan. Kisah ini mungkin dipilih karena relevan dengan konsep sraddha, yaitu pelepasan jiwa ke alam yang lebih suci.


Perkiraan Penyelesaian Candi

Meskipun catatan tertulis mengenai pembangunan Candi Tegowangi tidak lengkap, perkiraan berdasarkan upacara sraddha Bhre Matahun (1388 M) menunjukkan bahwa candi ini kemungkinan dibangun antara akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15. Hal ini sejalan dengan kebiasaan Majapahit dalam membangun candi sebagai tempat penghormatan bagi leluhur yang telah wafat.

Penemuan dan Pemugaran

Candi Tegowangi pertama kali didokumentasikan dalam catatan sejarah oleh para arkeolog Belanda pada masa kolonial. Penemuan kembali situs ini didasarkan pada peninggalan fisik yang masih tersisa di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. Saat ditemukan, kondisi candi sudah mengalami kerusakan parah, dengan hanya bagian kaki dan sebagian tubuh candi yang masih tersisa. Banyak batuan yang berserakan di sekitar lokasi, serta beberapa arca dan relief yang menunjukkan bahwa situs ini dulunya merupakan tempat penting dalam peradaban Majapahit. Berdasarkan penelitian awal, candi ini dikaitkan dengan upacara sraddha untuk Bhre Matahun yang disebut dalam Kitab Negarakertagama, yang diperkirakan berlangsung pada tahun 1388 M. Informasi ini menjadi dasar utama dalam memahami fungsi dan makna dari Candi Tegowangi dalam sejarah Majapahit.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai melakukan berbagai upaya pelestarian terhadap Candi Tegowangi. Pada pertengahan abad ke-20, situs ini mulai masuk dalam daftar cagar budaya yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan langkah-langkah pemugaran dengan membersihkan area sekitar candi, menyusun kembali batu-batu yang masih bisa digunakan, dan melakukan penelitian lebih lanjut terhadap relief yang ada. Sayangnya, karena banyak bagian asli candi telah hilang, rekonstruksi penuh tidak dapat dilakukan. Fokus utama pemugaran adalah menjaga struktur yang masih tersisa agar tidak mengalami kerusakan lebih lanjut serta mengamankan relief-relief yang menggambarkan kisah Sudamala, salah satu cerita dalam pewayangan yang erat kaitannya dengan konsep penyucian dalam ajaran Hindu.

Proses pemugaran menghadapi berbagai kendala, terutama karena banyaknya batu asli candi yang telah hilang atau tidak ditemukan di lokasi. Selain itu, faktor lingkungan seperti cuaca, erosi, dan aktivitas manusia juga menjadi tantangan besar dalam menjaga kelestarian candi ini. Meski demikian, pemerintah terus melakukan langkah-langkah konservasi untuk memastikan bahwa bagian-bagian yang masih bertahan dapat tetap terjaga. Beberapa penelitian arkeologi terus dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai peran Candi Tegowangi dalam sejarah Majapahit, termasuk kemungkinan adanya struktur lain yang masih terkubur di sekitar area candi. Selain itu, keterlibatan masyarakat sekitar juga semakin diperkuat dalam menjaga kelestarian candi melalui edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya melindungi warisan budaya.

Hingga saat ini, Candi Tegowangi tetap menjadi salah satu situs sejarah yang menarik di Kediri, baik bagi wisatawan maupun peneliti. Meskipun tidak dalam kondisi utuh, candi ini tetap menjadi saksi bisu kejayaan Majapahit dan terus dijaga sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia. Statusnya sebagai cagar budaya yang dilindungi memungkinkan adanya perhatian lebih dari pemerintah dan lembaga terkait untuk terus melakukan upaya pelestarian. Dengan berbagai langkah konservasi yang dilakukan, diharapkan Candi Tegowangi tetap bisa dikenali dan dipelajari oleh generasi mendatang sebagai bagian penting dari sejarah peradaban Nusantara.

Akses Menuju Candi Tegowangi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Candi Tegowangi terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Lokasinya cukup strategis dan mudah dijangkau baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, karena berada tidak terlalu jauh dari pusat Kota Kediri. Jarak dari Alun-Alun Kota Kediri ke Candi Tegowangi sekitar 13 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Akses jalan menuju candi sudah cukup baik, dengan kondisi jalan yang beraspal dan mudah dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.

Bagi wisatawan yang datang dari luar kota atau luar negeri, akses menuju Kediri bisa dilakukan dengan beberapa pilihan moda transportasi. Jika menggunakan kereta api, wisatawan bisa turun di Stasiun Kediri, yang merupakan stasiun utama di kota ini. Dari stasiun, perjalanan ke Candi Tegowangi bisa ditempuh dengan menggunakan angkutan umum, taksi, atau transportasi daring seperti Gojek dan Grab. Alternatif lainnya adalah menggunakan bus dengan tujuan Terminal Tamanan Kediri, kemudian melanjutkan perjalanan dengan kendaraan lokal menuju lokasi candi.

Bagi wisatawan mancanegara yang datang melalui jalur udara, bandara terdekat adalah Bandara Internasional Juanda di Surabaya. Dari bandara, wisatawan bisa melanjutkan perjalanan ke Kediri dengan kereta api, bus, atau mobil sewaan, dengan waktu tempuh sekitar 2,5–3 jam tergantung kondisi lalu lintas. Setelah tiba di Kediri, perjalanan ke Candi Tegowangi dapat dilanjutkan menggunakan kendaraan pribadi, transportasi umum, atau layanan transportasi daring yang tersedia di kota tersebut.

Sesampainya di lokasi, wisatawan dapat menikmati suasana candi yang tenang dan dikelilingi oleh lingkungan pedesaan yang asri. Area sekitar candi juga sudah dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti tempat parkir dan papan informasi mengenai sejarah candi. Meskipun belum ada pusat wisata besar di sekitar lokasi, Candi Tegowangi menjadi destinasi yang menarik bagi pecinta sejarah dan budaya, terutama bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang peninggalan Kerajaan Majapahit di Kediri.


Candi Surawana

Candi Surawana adalah sebuah candi Hindu yang terletak di Kediri, Jawa Timur. Candi ini dibangun pada masa Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14, dan merupakan salah satu situs sejarah yang menggambarkan keagungan Majapahit dalam bidang arsitektur dan kebudayaan. Candi ini memiliki gaya arsitektur khas Hindu dengan relief-relief yang menggambarkan kehidupan pada masa itu.

Letak Geografis

Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Candi ini berada sekitar 20 km dari pusat Kota Kediri, mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum.

Sejarah Pembangunan

Candi Surawana dibangun pada masa pemerintahan Raja Bhre Wengker, penguasa Kediri pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan prasasti yang ditemukan di sekitar candi ini, candi ini dibangun sebagai tempat pemujaan untuk Raja Bhre Wengker dan para dewa dalam agama Hindu. Pada tahun 1920-an, candi ini ditemukan kembali oleh arkeolog Belanda, dan beberapa penelitian arkeologi telah dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang sejarah pembangunan candi ini. Candi Surawana diperkirakan digunakan untuk ritual keagamaan serta sebagai tempat penghormatan terhadap leluhur.

Pemugaran

Sejak ditemukan, Candi Surawana mengalami beberapa tahap pemugaran untuk melestarikan struktur dan relief yang ada. Pemugaran dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan instansi terkait, dengan tujuan untuk mempertahankan situs ini sebagai warisan budaya dan sejarah. Struktur utama candi yang terbuat dari batu andesit ini mengalami kerusakan, namun sebagian besar sudah berhasil dipugar dengan hati-hati, dan kini candi ini kembali dapat dinikmati dalam kondisi yang lebih baik.

Akses Menuju Lokasi

Untuk wisatawan lokal dan mancanegara yang ingin mengunjungi Candi Surawana, akses menuju candi ini sangat mudah. Dari pusat Kota Kediri, wisatawan bisa menuju ke Kecamatan Pare dan mengikuti petunjuk arah menuju Desa Canggu. Perjalanan dari pusat kota ke candi ini memakan waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan pribadi. Untuk wisatawan mancanegara, penerbangan internasional dapat mendarat di Bandara Juanda Surabaya, yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar 2,5 jam menuju Kediri.



Situs Tondowongso

Situs Tondowongso adalah kompleks percandian yang terletak di Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Situs ini diperkirakan berasal dari masa Mataram Kuno dan mengandung elemen arkeologis yang menggambarkan pengaruh Hindu-Buddha. Penemuan artefak seperti arca dan prasasti menjadikannya sebagai salah satu situs bersejarah penting di Kediri yang belum banyak dikenal.

Letak Geografis

Situs Tondowongso terletak di kaki Gunung Wilis, sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Kediri. Lokasinya berada di Desa Gayam, Kecamatan Gurah, yang dapat dicapai dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum dari Kediri. Tempat ini berada di area yang relatif tenang, jauh dari keramaian, sehingga cocok untuk wisata sejarah yang lebih mendalam.

Sejarah Pembangunan

Berdasarkan prasasti yang ditemukan di sekitar situs ini, diperkirakan bahwa Situs Tondowongso dibangun pada abad ke-9. Hal ini menunjukkan pengaruh kuat dari Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa pada masa itu. Prasasti-prasasti yang ditemukan berisi informasi mengenai pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu, serta kehidupan sosial masyarakat saat itu.

Penemuan Kembali

Situs ini pertama kali ditemukan pada tahun 2007, ketika sebuah proyek pembangunan jalan di kawasan tersebut mengungkapkan adanya struktur batu yang terkubur. Penemuan ini kemudian menarik perhatian para arkeolog yang melakukan ekskavasi lebih lanjut. Selama penggalian, ditemukan beberapa prasasti, arca, dan fragmen batu yang menunjukkan bahwa situs ini merupakan tempat ibadah pada masa Mataram Kuno.

Upaya Pemugaran

Hingga saat ini, Upaya pemugaran Situs Tondowongso masih berlangsung. Beberapa bagian dari candi dan prasasti telah direkonstruksi untuk melindungi artefak yang ada. Pemerintah setempat dan pihak terkait bekerja sama dengan lembaga arkeologi untuk menjaga kelestarian situs ini agar tetap dapat dipelajari oleh generasi mendatang. Pemugaran ini juga bertujuan untuk membuka akses lebih mudah bagi wisatawan yang tertarik untuk melihat situs ini.

Akses Menuju Lokasi

Untuk wisatawan lokal, perjalanan menuju Situs Tondowongso bisa dilakukan dengan kendaraan pribadi melalui Jalan Raya Gurah, lalu mengikuti petunjuk arah yang tersedia. Lokasi ini terletak sekitar 10-15 menit perjalanan dari pusat Kecamatan Gurah. Bagi wisatawan mancanegara, akses menuju Kediri bisa melalui Bandara Juanda di Surabaya, kemudian melanjutkan perjalanan darat sekitar 2-3 jam ke situs ini. Wisatawan disarankan untuk menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa jasa pemandu lokal karena lokasi situs yang agak terpencil.



Situs Makam Sri Aji Joyoboyo


Situs Makam Sri Aji Joyoboyo adalah tempat peristirahatan terakhir dari Sri Aji Joyoboyo, raja Kediri yang terkenal dengan ramalannya yang sangat terkenal dalam sejarah Jawa. Makam ini terletak di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kediri, dan menjadi salah satu situs ziarah yang penting bagi masyarakat yang percaya dengan ramalan Joyoboyo tentang masa depan Nusantara. Makam ini memiliki nilai sejarah yang tinggi dan menjadi salah satu tujuan wisata religi di Kediri.

Letak Geografis

Situs makam ini terletak di Desa Menang, Kecamatan Pagu, sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Kediri. Lokasinya berada di dataran tinggi yang dikelilingi oleh perbukitan, menciptakan suasana yang tenang dan mistis. Akses ke lokasi ini dapat ditempuh menggunakan kendaraan pribadi, dan jalan menuju makam sudah cukup baik, meskipun jalanan di beberapa bagian agak sempit.

Sejarah Sri Aji Joyoboyo

Sri Aji Joyoboyo adalah salah satu raja Kediri yang terkenal pada abad ke-12. Ia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, tetapi yang lebih terkenal adalah ramalan-ramalannya tentang masa depan kerajaan dan nusantara. Ramalan Joyoboyo dianggap sangat akurat, terutama dalam hal kejadian-kejadian besar yang akan terjadi di masa depan, dan sering dikaitkan dengan nasib bangsa Indonesia. Ia juga berperan besar dalam perkembangan Kerajaan Kediri pada masa pemerintahannya.

Sejarah Pembangunan Makam

Makam Sri Aji Joyoboyo dibangun oleh keturunannya sebagai bentuk penghormatan kepada raja yang sangat dihormati ini. Meski tidak ada catatan pasti mengenai waktu pembangunan makam tersebut, banyak yang meyakini bahwa makam ini sudah ada sejak lama, dibangun tidak lama setelah wafatnya Sri Aji Joyoboyo. Struktur makam yang ada sekarang mencerminkan tradisi pemakaman kerajaan Jawa yang berfokus pada kesakralan dan kehormatan.

Penemuan Kembali

Makam Sri Aji Joyoboyo tetap terjaga meskipun tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Pada abad ke-19, situs ini menjadi salah satu tempat ziarah penting, namun keberadaannya sempat terlupakan seiring berjalannya waktu. Penemuan kembali makam ini lebih banyak melalui tradisi lisan dan catatan sejarah lokal yang menyebutkan bahwa makam raja Kediri yang terkenal dengan ramalannya berada di kawasan tersebut. Kini, makam ini menjadi tempat ziarah yang cukup dikenal di Kediri.

Pemugaran

Sejak ditemukan kembali, makam Sri Aji Joyoboyo mengalami beberapa tahap pemugaran untuk menjaga kelestariannya. Pemugaran dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait untuk melindungi situs ini dari kerusakan dan agar dapat dikunjungi oleh wisatawan. Beberapa bagian dari kompleks makam juga telah dibersihkan dan diperbaiki agar tetap terjaga dengan baik. Meskipun begitu, nilai historis dan kesakralan makam tetap dijaga agar tetap mencerminkan penghormatan terhadap Sri Aji Joyoboyo.

Akses Menuju Lokasi

Untuk wisatawan lokal, perjalanan menuju situs makam dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi melalui Jalan Raya Pagu, lalu mengikuti petunjuk arah menuju Desa Menang. Perjalanan ke lokasi ini membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit dari pusat Kota Kediri. Bagi wisatawan mancanegara, akses menuju Kediri bisa dilakukan melalui Bandara Juanda di Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan darat sekitar 2-3 jam ke situs makam. Disarankan bagi wisatawan untuk menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa pemandu lokal untuk mencapai lokasi ini dengan mudah.




Monumen Simpang Lima Gumul

Monumen Simpang Lima Gumul adalah sebuah monumen megah yang terletak di pusat Kota Kediri, Jawa Timur. Monumen ini memiliki bentuk yang mirip dengan Arc de Triomphe di Paris, Prancis, dan berdiri dengan megah di tengah persimpangan jalan utama. Dibangun untuk memperingati sejarah dan kemajuan Kabupaten Kediri, Simpang Lima Gumul kini menjadi salah satu ikon kota yang dikenal luas oleh masyarakat lokal dan wisatawan.

Pembangunan Monumen

Monumen ini mulai dibangun pada tahun 2003 dan selesai pada tahun 2008. Desain monumen ini terinspirasi oleh arsitektur Prancis, khususnya Arc de Triomphe, sebagai simbol kejayaan dan kebanggaan. Proses pembangunan melibatkan dana yang cukup besar dari pemerintah daerah Kediri dengan tujuan untuk menciptakan landmark yang menarik dan menjadi kebanggaan masyarakat Kediri. Simpang Lima Gumul juga dirancang untuk menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya di Kediri.

Tujuan Pembangunan

Tujuan utama dari pembangunan Monumen Simpang Lima Gumul adalah untuk memperingati sejarah dan budaya Kabupaten Kediri, serta menjadi simbol modernitas dan kemajuan daerah ini. Selain itu, monumen ini dibangun untuk meningkatkan daya tarik pariwisata di Kediri, memberikan fasilitas publik yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan masyarakat, dan menciptakan pusat pertemuan bagi warga Kediri maupun pengunjung dari luar kota.

Saat Ini Sebagai Destinasi Wisata

Saat ini, Monumen Simpang Lima Gumul telah berkembang menjadi salah satu destinasi wisata terkenal di Kediri. Selain sebagai ikon kota, monumen ini juga menjadi tempat favorit bagi wisatawan yang ingin berfoto atau sekadar menikmati suasana sekitar. Di sekitar monumen, terdapat beberapa area taman, kafe, dan tempat berkumpul yang membuatnya menjadi tempat yang ideal untuk bersantai. Selain itu, monumen ini sering digunakan untuk berbagai acara dan festival lokal, seperti konser, pasar malam, dan kegiatan budaya lainnya.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Bagi wisatawan lokal, Monumen Simpang Lima Gumul mudah dijangkau menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi umum. Lokasinya berada di pusat kota, di persimpangan utama yang menghubungkan beberapa jalan utama Kediri. Bagi wisatawan mancanegara, mereka dapat menuju Kediri melalui Bandara Juanda di Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan darat sekitar 2-3 jam ke Monumen Simpang Lima Gumul. Dengan lokasi yang strategis, monumen ini dapat dicapai dengan mudah dan nyaman.



Goa Selomangleng 

Goa Selomangleng adalah sebuah gua bersejarah yang terletak di Kediri, Jawa Timur. Nama Selomangleng berasal dari bahasa Jawa, yang berarti "batu miring", mengacu pada posisi batu besar yang membentuk gua ini. Goa ini memiliki nilai historis dan budaya yang erat kaitannya dengan legenda Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga. Selain menjadi tempat bersejarah, gua ini juga menyimpan berbagai relief dan ornamen kuno yang menambah daya tariknya sebagai objek wisata.

Letak Geografis

Goa Selomangleng terletak di Lereng Gunung Klotok, sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Kediri. Lokasinya berada di kawasan perbukitan yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, menciptakan suasana yang sejuk dan asri. Gua ini menjadi bagian dari kompleks wisata alam dan budaya yang sering dikunjungi wisatawan.

Mitos dan Cerita yang Berkembang di Masyarakat

Masyarakat setempat meyakini bahwa Goa Selomangleng adalah tempat pertapaan Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga. Konon, Dewi Kilisuci menolak untuk naik takhta dan memilih menjalani kehidupan sebagai pertapa di dalam gua ini. Kisah ini berkembang menjadi legenda yang diwariskan turun-temurun, menjadikan gua ini sebagai tempat yang dianggap sakral oleh sebagian orang.

Selain itu, beberapa orang percaya bahwa gua ini memiliki aura mistis dan sering dijadikan tempat meditasi atau ritual spiritual. Relief yang terukir di dinding gua juga sering dikaitkan dengan kisah-kisah Hindu-Buddha yang berkembang pada masa kerajaan di Jawa.

Saat Ini Sebagai Destinasi Wisata

Kini, Goa Selomangleng menjadi salah satu destinasi wisata populer di Kediri, baik untuk wisata sejarah, religi, maupun wisata alam. Pengunjung dapat menjelajahi gua, melihat relief kuno, atau menikmati suasana alam di sekitar kawasan ini. Selain itu, di dekat Goa Selomangleng juga terdapat Museum Airlangga yang menyimpan berbagai peninggalan sejarah, sehingga wisatawan bisa mendapatkan pengalaman wisata edukatif.

Di sekitar lokasi juga sering diadakan berbagai acara budaya, seperti pertunjukan seni tradisional dan ritual keagamaan. Tempat ini cocok untuk wisatawan yang tertarik dengan sejarah, budaya, atau sekadar ingin menikmati pemandangan alam yang menenangkan.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Bagi wisatawan lokal, Goa Selomangleng dapat diakses dengan mudah menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Dari pusat Kota Kediri, perjalanan menuju lokasi ini memakan waktu sekitar 15-20 menit melalui jalur yang cukup baik.

Untuk wisatawan mancanegara, perjalanan bisa dimulai dari Bandara Juanda di Surabaya, kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Kediri selama kurang lebih 2-3 jam menggunakan kendaraan sewaan atau bus antar-kota. Setelah tiba di Kota Kediri, wisatawan bisa menggunakan kendaraan umum atau transportasi daring menuju lokasi Goa Selomangleng



Candi Klotok

Candi Klotok adalah sebuah situs candi yang terletak di lereng Gunung Klotok, Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur. Candi ini berada di tengah hutan, dekat dengan area pendakian menuju puncak Gunung Klotok dan tidak jauh dari objek wisata Gua Selomangleng. 

Sejarah Pembangunan Menurut Para Arkeolog

Penelitian mengenai Candi Klotok telah berlangsung sejak tahun 1994 hingga saat ini. Meskipun belum ada kepastian mengenai waktu pembangunannya, beberapa arkeolog berpendapat bahwa candi ini berasal dari abad ke-11 pada masa Kerajaan Kediri. Hal ini didasarkan pada temuan peripih berupa koin Cina yang ditempatkan dalam wadah tembikar berjenis pasu di sudut barat laut candi. Selain itu, candi ini diduga berfungsi sebagai tempat peribadatan yang tidak mengacu pada satu aliran tertentu, melainkan sebagai penghormatan kepada leluhur yang dianggap bersemayam di atas gunung. 

Penemuan Kembali

Candi Klotok baru ditemukan sekitar tahun 2006 dan pertama kali diekskavasi pada tahun 2018. Proses ekskavasi ini mengungkap struktur candi yang terbuat dari bata merah, serta berbagai artefak seperti uang, keramik, dan gerabah. Penemuan ini menunjukkan bahwa kawasan Gunung Klotok pernah dimanfaatkan oleh beberapa periode kerajaan sebagai kompleks religi. 

Kondisi Saat Ini

Saat ini, Candi Klotok masih dalam tahap penelitian dan pemugaran oleh pihak terkait. Meskipun belum sepenuhnya dipugar, candi ini telah menarik perhatian wisatawan yang tertarik pada sejarah dan arkeologi. Lokasinya yang berada di tengah hutan memberikan nuansa alami dan menantang bagi para pengunjung.

Akses Menuju Lokasi dari Pusat Kota Kediri

Untuk mencapai Candi Klotok dari pusat Kota Kediri, wisatawan dapat mengikuti rute menuju kawasan wisata Gua Selomangleng. Setelah tiba di area parkir Gua Selomangleng, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui jalur pendakian menuju puncak Gunung Klotok. Perjalanan ini memerlukan stamina yang cukup, mengingat medan yang menanjak dan kondisi hutan yang cukup lebat. Disarankan bagi pengunjung untuk menggunakan pemandu lokal atau bertanya kepada warga setempat untuk mendapatkan petunjuk arah yang lebih jelas.

Dengan kekayaan sejarah dan tantangan alam yang ditawarkan, Candi Klotok menjadi destinasi menarik bagi mereka yang ingin mengeksplorasi jejak masa lalu di tengah keindahan alam Kediri.





Menjelajahi situs-situs bersejarah di Kota Kediri bukan hanya tentang melihat bangunan kuno atau mendengar kisah masa lalu, tetapi juga tentang memahami bagaimana sejarah membentuk identitas kota ini hingga saat ini. Dari peninggalan Kerajaan Kediri yang megah hingga jejak kolonial yang masih terasa, setiap sudut kota ini menyimpan cerita yang menarik untuk ditelusuri.

Bagi pecinta sejarah maupun wisatawan yang ingin merasakan pengalaman berbeda, Kediri menawarkan perjalanan yang sarat dengan nilai budaya dan edukasi. Dengan menjaga dan melestarikan situs-situs bersejarah ini, kita juga turut menjaga warisan yang berharga bagi generasi mendatang.

Jadi, apakah Anda siap untuk menjelajahi Kediri dan merasakan langsung atmosfer sejarah yang masih hidup di kota ini? Selamat berwisata dan temukan kisah-kisah menarik yang menanti untuk diceritakan!




Belum ada Komentar untuk "Eksplorasi Kota Kediri: Perjalanan ke Situs-Situs Bersejarah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel