Menelusuri 7 Candi Terkenal di Indonesia: Warisan Sejarah yang Abadi
Maret 11, 2025
Tambah Komentar
Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sejarah dan budaya. Salah satu warisan terbesar dari masa lampau adalah keberadaan candi-candi megah yang tersebar di berbagai daerah. Candi bukan sekadar bangunan batu yang berusia ratusan hingga ribuan tahun, tetapi juga simbol kejayaan peradaban, spiritualitas, dan seni arsitektur yang luar biasa.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri tujuh candi paling terkenal di Indonesia, mengungkap kisah-kisah di balik pembangunannya, serta memahami bagaimana candi-candi ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa. Dari kemegahan Candi Borobudur hingga keindahan Candi Prambanan, setiap candi memiliki daya tariknya sendiri yang menjadikannya tak lekang oleh waktu. Mari kita mulai perjalanan ini dan mengenal lebih dekat warisan sejarah yang abadi.
Candi Singosari
Candi Singosari adalah salah satu peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singasari yang didirikan pada abad ke-13. Candi ini dikenal dengan arsitektur khas Hindu-Buddha dan dipercaya sebagai tempat pemujaan serta peristirahatan terakhir Raja Kertanegara, raja terakhir Singasari.
Candi Singosari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Koordinatnya sekitar 7°52'59.6"S 112°41'44.6"E, berada di dataran tinggi yang dikelilingi pegunungan, termasuk Gunung Arjuna di sebelah barat laut.
Sejarah Pembangunan Candi Singosari
Candi Singosari dibangun pada akhir abad ke-13, pada masa pemerintahan Raja Kertanegara (1268–1292 M), raja terakhir Kerajaan Singasari. Candi ini diyakini sebagai candi pendharmaan atau tempat pemujaan bagi raja setelah wafat, yang dalam tradisi Hindu-Buddha disebut sebagai "dewa raja" atau Śiva-Buddha.
Raja Kertanegara dikenal sebagai penguasa yang bercita-cita menyatukan Nusantara melalui Ekspedisi Pamalayu. Namun, pada tahun 1292, ia dibunuh oleh Jayakatwang dari Kerajaan Kediri dalam sebuah kudeta. Tak lama setelah itu, pasukan Mongol yang sebelumnya diundang oleh Kertanegara tiba di Jawa dan membantu putra menantu Kertanegara, Raden Wijaya, dalam mengalahkan Jayakatwang. Peristiwa ini menjadi awal berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293.
Setelah kematian Kertanegara, para pengikutnya mendirikan Candi Singosari sebagai bentuk penghormatan. Berdasarkan relief dan arca yang ditemukan, candi ini menggabungkan unsur Hindu dan Buddha. Kertanegara diyakini dipuja sebagai perwujudan Siwa-Buddha, yang menjelaskan mengapa ada pengaruh Hindu dan Buddha yang kuat dalam arsitektur dan reliefnya.
Saat ini, meskipun bangunan candi tidak lagi utuh, Candi Singosari tetap menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Singasari sebelum runtuhnya dan digantikan oleh Majapahit.
Bukti Arkeologis dan Prasasti
Sejumlah bukti arkeologis dan prasasti yang ditemukan di sekitar Candi Singosari memberikan informasi lebih lanjut mengenai keberadaan dan fungsi candi ini. Salah satu prasasti penting yang berhubungan dengan pembangunan candi ini adalah Prasasti Singosari yang ditemukan di sekitar kawasan candi. Prasasti ini memuat informasi mengenai Raja Kertanegara dan penegasan kekuasaannya atas wilayah Singasari pada masa itu.
Selain itu, relief-relief yang ditemukan pada candi menggambarkan kisah-kisah mitologi Hindu-Buddha, yang juga mengindikasikan bahwa candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa, khususnya Siwa. Beberapa arca besar yang ditemukan di sekitar candi, seperti Arca Dwarapala dan Arca Prajnaparamita, menguatkan dugaan bahwa candi ini digunakan sebagai tempat pemujaan bagi raja dan dewa, serta mungkin menjadi tempat peristirahatan terakhir raja.
Bukti arkeologis lainnya adalah struktur candi yang menggambarkan perpaduan antara arsitektur Hindu dan Buddha, yang merupakan ciri khas pada masa transisi antara dua pengaruh besar tersebut. Meski banyak bagian candi yang telah rusak, temuan-temuan ini tetap menunjukkan betapa pentingnya situs ini dalam sejarah Kerajaan Singasari.
Penemuan Kembali Candi Singosari
Candi Singosari, yang terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sempat hilang dalam sejarah selama berabad-abad dan hampir terlupakan. Candi ini baru ditemukan kembali pada abad ke-19 oleh penjelajah Belanda, yang saat itu melakukan penelitian di wilayah Jawa Timur. Pada saat itu, candi tersebut sudah berada dalam kondisi yang cukup rusak, dengan banyak bagian bangunan yang runtuh.
Penemuan Candi Singosari dimulai saat seorang arsitek Belanda, Sir Thomas Stamford Raffles, mencatat tentang keberadaan struktur batu kuno di daerah Singosari dalam catatannya yang dikeluarkan pada awal abad ke-19. Namun, pada saat itu, struktur yang ada di kawasan tersebut tidak sepenuhnya teridentifikasi sebagai Candi Singosari.
Pada tahun 1815, candi ini mulai mendapatkan perhatian lebih oleh Gouverneur-General Raffles melalui laporan yang dia terima. Seiring waktu, penemuan ini memicu penelitian lebih lanjut, dan pada tahun 1910, penggalian dan pemugaran pertama dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selama proses ini, banyak arca, relief, dan batu-batu besar yang ditemukan di sekitar situs, yang semakin memperkuat identitas candi sebagai situs peninggalan Kerajaan Singasari.
Salah satu penemuan paling signifikan adalah Arca Dwarapala yang ditemukan di pintu gerbang candi. Arca ini menggambarkan penjaga pintu yang melambangkan kekuatan dan perlindungan, ciri khas dari arsitektur Hindu pada masa itu. Selain itu, relief-relief yang menggambarkan kisah-kisah mitologi Hindu dan Buddha juga ditemukan di beberapa bagian candi, menambah bukti penting bahwa Candi Singosari adalah tempat pemujaan sekaligus tempat pendharmaan raja.
Meskipun candi ini telah dipugar beberapa kali, terutama pada era kolonial dan setelah kemerdekaan Indonesia, banyak bagiannya yang tetap menjadi puing-puing atau hilang karena erosi waktu dan aktivitas manusia.
Penemuan kembali Candi Singosari juga memperlihatkan pentingnya upaya konservasi dan perlindungan situs-situs bersejarah. Kini, Candi Singosari menjadi salah satu situs budaya yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, dan terus menarik minat para arkeolog, wisatawan, serta pecinta sejarah.
Pemugaran Candi Singosari
Pemugaran Candi Singosari dimulai pada awal abad ke-20, setelah candi ini ditemukan kembali pada tahun 1815 dan diperkenalkan ke dunia oleh peneliti Belanda. Upaya pemugaran pertama dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1910. Pada waktu itu, tujuan utama pemugaran adalah untuk mengembalikan struktur dasar candi yang hampir hancur akibat faktor alam dan aktivitas manusia yang merusaknya.
Proses pemugaran pertama kali berfokus pada pengumpulan batu-batu yang tersebar di sekitar lokasi dan menyusun kembali bagian-bagian yang masih bisa dipertahankan. Banyak bagian dari candi yang sudah hilang, sehingga pemugaran dilakukan dengan mengganti beberapa bagian yang hilang menggunakan batuan baru yang serupa. Beberapa arca dan relief juga ditemukan dalam keadaan rusak atau terpisah-pisah, namun sebagian besar dapat dipulihkan dan dipasang kembali di posisi semula.
Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia melanjutkan upaya pemugaran yang lebih menyeluruh. Salah satu upaya besar dilakukan pada tahun 1960-an hingga 1970-an, ketika tim arkeolog Indonesia, bekerja sama dengan berbagai ahli konservasi, memperbaiki struktur candi yang mengalami kerusakan lebih lanjut karena erosi dan gempa bumi yang terjadi di daerah Malang.
Pemugaran ini juga melibatkan pemulihan bagian-bagian yang rusak, serta penataan kawasan sekitar candi agar tetap mempertahankan nuansa historis. Pada tahun 2000-an, pemugaran candi terus dilakukan dengan bantuan teknologi dan teknik modern. Sebagian besar pekerjaan fokus pada penguatan struktur candi untuk memastikan bangunan tetap kokoh dan terjaga dari kerusakan lebih lanjut.
Selain pemugaran fisik candi, pembangunan fasilitas pendukung juga dilakukan, termasuk penyediaan papan informasi, pagar pembatas, dan area pejalan kaki untuk memudahkan akses pengunjung, baik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Meski candi ini sudah beberapa kali dipugar, beberapa bagian dari Candi Singosari masih tetap dipelihara dalam kondisi alami untuk menjaga keaslian dan nilai sejarahnya. Pemugaran terus dilakukan secara berkala untuk menjaga kelestarian situs sejarah ini sebagai warisan budaya dunia.
Dengan pemugaran yang dilakukan secara hati-hati, Candi Singosari tetap menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Singasari dan terus menarik perhatian para peneliti, wisatawan, serta pecinta sejarah dari seluruh dunia.
Akses Menuju Candi Singosari untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara
Candi Singosari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 10 km di utara Kota Malang. Lokasinya cukup strategis dan mudah dijangkau dengan berbagai moda transportasi. Bagi wisatawan yang berangkat dari pusat Kota Malang, perjalanan ke Candi Singosari dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan pribadi melalui Jalan Raya Malang-Surabaya. Alternatif lain adalah menggunakan angkutan kota (angkot) jurusan AL atau ADL dari Terminal Arjosari, yang bisa membawa wisatawan ke area terdekat sebelum melanjutkan perjalanan dengan ojek. Selain itu, layanan taksi konvensional dan ojek online juga tersedia untuk perjalanan yang lebih praktis dan nyaman.
Bagi wisatawan yang tiba di Bandara Abdul Rachman Saleh, candi ini hanya berjarak sekitar 7 km dengan waktu tempuh 15-20 menit menggunakan taksi bandara atau transportasi daring. Jika menggunakan transportasi umum, wisatawan harus menuju Terminal Arjosari terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan dengan angkutan kota atau taksi. Sementara itu, wisatawan dari Surabaya memiliki beberapa pilihan transportasi, seperti kereta api jurusan Malang yang berhenti di Stasiun Singosari, atau bus antar kota yang berhenti di Terminal Arjosari. Jika menggunakan kendaraan pribadi, perjalanan dari Surabaya ke Candi Singosari dapat ditempuh dalam waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam melalui Tol Surabaya-Malang, keluar di gerbang tol Singosari, lalu melanjutkan perjalanan sekitar 10 menit ke lokasi candi.
Wisatawan mancanegara yang ingin mengunjungi Candi Singosari biasanya tiba di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang. Pilihan transportasi dari Surabaya ke Malang mencakup penerbangan domestik ke Bandara Abdul Rachman Saleh, kereta api dari Stasiun Gubeng atau Pasar Turi, serta bus atau layanan travel. Setibanya di Malang, wisatawan dapat menggunakan berbagai moda transportasi lokal untuk mencapai Candi Singosari. Alternatif lain adalah perjalanan langsung dari Surabaya ke Candi Singosari menggunakan kendaraan pribadi atau layanan transportasi daring, yang menawarkan fleksibilitas lebih besar.
Dengan akses yang semakin mudah dan infrastruktur yang terus berkembang, perjalanan menuju Candi Singosari menjadi lebih nyaman bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Lokasinya yang berada di jalur utama antara Malang dan Surabaya menjadikannya destinasi wisata sejarah yang mudah dijangkau. Pemerintah setempat juga terus berupaya meningkatkan sarana dan prasarana di sekitar candi, termasuk penyediaan papan informasi, area parkir, serta fasilitas pendukung lainnya untuk memberikan pengalaman yang lebih baik bagi pengunjung.
Candi Borobudur
Candi Borobudur, salah satu keajaiban dunia yang paling terkenal dan menjadi kebanggaan Indonesia. Sebagai salah satu situs warisan dunia yang terdaftar di UNESCO, Candi Borobudur tidak hanya merupakan monumen keagamaan yang luar biasa, tetapi juga simbol dari kebesaran peradaban Buddha yang berkembang di Jawa pada abad ke-9. Dengan arsitektur yang megah dan relief-relief yang mendalam, Candi Borobudur menyimpan kisah perjalanan spiritual yang melibatkan ajaran Buddha serta refleksi kehidupan manusia.
Mari kita mengenal lebih dalam Candi Borobudur, yang diperkirakan dibangun oleh Dinasti Syailendra sebagai tempat pemujaan dan meditasi. Candi ini juga memiliki nilai budaya dan filosofis yang kaya, dengan lebih dari 2.600 panel relief dan ratusan arca yang mengisahkan ajaran Buddha, yang dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang kehidupan spiritual, etika, dan kosmologi dalam ajaran Buddha.
Bentuk dan gaya arsitektur candi
Candi Borobudur secara geografis terletak dikota Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.
Lebih tepatnya di dataran tinggi kedu, sekitar 100 km disebelah barat daya Semarang, 86 km disebelah barat Surakarta dan 40 km disebelah barat laut Yogyakarta.
Candi Borobudur memiliki bentuk bujur sangkar dengan ukuran seluruhnya diperkirakan mencapai 123 meter x 123 meter, dengan tinggi yang mencapai sekitar 42 meter, terhitung sampai bagian atas puncak Chattra dan terdiri dari sepuluh tingkat, enam tingkat berbentuk bujur sangkar dengan ukuran semakin kecil pada bagian atas, sementara tingkat 7-8 berdenah hampir bulat dan untuk tingkat paling atas (10) memiliki bentuk berupa stupa besar.
Untuk bagian kakinya terdapat relief cerita Karmawibhangga.
Menurut Willem Frederik Stutterheim, seorang arkeolog dan epigraf asal Belanda yang banyak meneliti peninggalan sejarah dan arsitektur Hindu-Budha di Indonesia, yang dikenal karena karyanya dalam meneliti candi Borobudur serta berbagai situs arkeologi lainnya di nusantara.
Candi Borobudur dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, sebagaimana konsep Dhatu atau tahapan yang harus dilalui untuk mencapai "Kebuda-an, Yaitu sebuah konsep kebudayaan yang merujuk pada sekumpulan nilai-nilai norma, kepercayaan, tradisi dan simbol yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat atau bangsa tertentu. Ketiga tingkatan ini meliputi:
Kamadhatu, Merupakan bagian tingkatan atau kaki candi Borobudur yang berhiaskan relief Karmawibhangga.
Rupadhatu, Bagian tingkat kedua hingga ke enam dari candi, dapat ditemukan relief Lalitavistara, Jataka, Awadana, Gandavyuha dan Bhadracari.
Arupadhatu, Merupakan bagian tingkat ketujuh hingga kesepuluh. Ditingkatan ini tidak terdapat relief seperti pada tingkatan sebelumnya, Namun terdapat banyak Stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia.
Secara keseluruhan warisan budaya ini, memiliki bentuk stupa yang memiliki struktur berbentuk teras yang terbuat dari susunan batu andesit, Yang disambung kuat dengan tehnik pasak "Ekor burung layang-layang" Atau Pasak "kupu-kupu"
sejarah pembangunan candi Borobudur
Candi Borobudur adalah salah satu monumen Buddha terbesar di dunia yang dibangun pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi di Jawa Tengah, Indonesia. Menurut J.G. de Casparis, candi ini dibangun oleh dinasti Sailendra, yang memerintah pada masa itu dan dikenal sebagai pendukung agama Buddha Mahayana. Candi ini diperkirakan dibangun oleh raja Samaratungga, meskipun bukti sejarah langsung mengenai siapa yang memerintahkan pembangunannya masih belum ditemukan. Dinasti Sailendra memainkan peran penting dalam penyebaran ajaran Buddha di Jawa, dan Candi Borobudur menjadi simbol kebesaran budaya serta agama pada masa itu.
De Casparis menyebutkan bahwa prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar Borobudur memberikan petunjuk mengenai waktu dan konteks pembangunan candi ini. Salah satu prasasti yang relevan adalah prasasti Karangtengah, yang mengindikasikan hubungan kerajaan Sailendra dengan pembangunan candi. Walaupun tidak ada prasasti yang secara langsung menyebutkan raja yang memerintahkan pembangunan Borobudur, prasasti tersebut mencerminkan adanya proyek besar yang dimulai pada abad ke-8 dan selesai pada abad ke-9. Pembangunan Candi Borobudur kemungkinan memakan waktu beberapa dekade, mencerminkan kompleksitas dan skala proyek ini.
Candi Borobudur terdiri dari sembilan tingkat, termasuk platform dasar, dan dihiasi dengan lebih dari 2.600 panel relief dan 504 patung Buddha. Struktur candi ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai representasi dari ajaran Buddha, terutama ajaran Buddha Mahayana. Menurut de Casparis, desain arsitektur Borobudur menggambarkan perjalanan spiritual seorang individu yang menuju pencerahan, dengan setiap tingkat candi merepresentasikan tahapan dalam pencapaian spiritual tersebut. Relief-relief yang ada di dinding candi menggambarkan kisah-kisah kehidupan Buddha serta ajaran-ajaran penting dalam agama Buddha.
Pembangunan Candi Borobudur menunjukkan kecanggihan arsitektur dan seni pada masa itu. De Casparis mengungkapkan bahwa proses pembangunan candi ini melibatkan banyak pekerja terampil dan arsitek yang ahli dalam perencanaan dan eksekusi konstruksi. Candi ini juga menjadi pusat pendidikan dan perayaan agama Buddha, dengan fungsinya yang melampaui sekadar tempat ibadah. Keberadaan candi ini mencerminkan kebesaran dinasti Sailendra, yang menggunakan Borobudur sebagai simbol kekuasaan dan pengaruh mereka dalam dunia keagamaan serta politik di Jawa pada masa itu.
Secara keseluruhan, Candi Borobudur adalah contoh luar biasa dari kemajuan budaya dan agama di Jawa pada masa pemerintahan dinasti Sailendra. Menurut de Casparis, candi ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemahaman dan penyebaran ajaran Buddha Mahayana di Asia Tenggara. Keindahan arsitektur dan kekayaan relief di Borobudur menjadikannya sebagai warisan budaya yang tak ternilai dan terus menjadi bukti kebesaran peradaban Jawa kuno dalam sejarah dunia.
Penemuan dan pemugaran candi Borobudur
Sejarah penemuan Candi Borobudur dimulai pada abad ke-19, setelah candi ini terkubur oleh abu vulkanik dan semak belukar selama berabad-abad. Candi yang dibangun pada abad ke-8 hingga ke-9 oleh dinasti Sailendra ini terlupakan oleh masyarakat lokal karena kondisi alam dan letusan Gunung Merapi yang menutupi area tersebut. Candi Borobudur baru ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat Inggris yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pada tahun 1814, saat Raffles menjabat sebagai gubernur, ia mengirimkan seorang pejabat bernama H.C. Cornelius untuk melakukan eksplorasi arkeologis di sekitar wilayah Yogyakarta dan Magelang. Dalam ekspedisinya, Cornelius menemukan struktur candi yang terkubur di tengah hutan dan semak-semak di dekat Gunung Merapi. Penemuan ini menarik perhatian Raffles, yang kemudian melakukan pengamatan lebih lanjut terhadap situs tersebut. Namun, pada saat itu, candi tersebut masih tertutup sebagian besar oleh tanah dan pohon-pohon, dan belum dipahami sepenuhnya sebagai Candi Borobudur yang terkenal.
Pencarian lebih lanjut dimulai pada 1835 ketika proses pemugaran candi secara resmi dimulai. Pemugaran ini dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilakukan oleh seorang arsitek bernama Philipus V. Cuypers. Selama beberapa dekade, tim pemugaran berhasil membersihkan dan menggali struktur candi, mengungkapkan bagian-bagian candi yang tersembunyi, seperti relief-relief yang menghiasi dinding dan patung-patung Buddha yang ada di dalamnya. Proses pemugaran berlangsung cukup lama, dan banyak bagian dari candi yang telah hancur atau rusak.
Pemugaran Candi Borobudur terus berlanjut selama beberapa dekade hingga tahun 1970-an. Pada tahun 1973, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNESCO untuk melakukan pemugaran besar-besaran guna melestarikan candi ini. Program restorasi ini berhasil mengembalikan sebagian besar keutuhan candi, termasuk struktur dan relief yang ada. Pada tahun 1991, Candi Borobudur akhirnya diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, mengakui nilai budaya dan sejarahnya yang sangat penting.
Kini, Candi Borobudur telah menjadi salah satu destinasi wisata utama di Indonesia dan salah satu keajaiban arsitektur dunia. Penemuannya kembali pada abad ke-19 menandai langkah penting dalam melestarikan warisan budaya Indonesia, dan pemugaran yang dilakukan sejak itu membantu menjaga keindahan serta integritasnya sebagai simbol penting bagi agama Buddha dan sejarah peradaban di pulau Jawa dan Indonesia.
Akses Menuju Candi Borobudur
Candi Borobudur, yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, dapat dijangkau dengan mudah dari berbagai kota di Indonesia, baik untuk turis lokal maupun mancanegara. Untuk turis lokal, perjalanan dari Yogyakarta ke Candi Borobudur memakan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam dengan kendaraan pribadi melalui Jalan Magelang. Alternatifnya, turis bisa menggunakan angkutan umum dari terminal Giwangan di Yogyakarta menuju Magelang, dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan lokal. Dari Semarang, perjalanan ke Candi Borobudur memakan waktu sekitar 2 hingga 2,5 jam menggunakan kendaraan pribadi atau taksi, melewati Jalan Raya Semarang - Magelang.
Bagi turis mancanegara, ada beberapa pilihan transportasi untuk menuju Candi Borobudur. Dari Bandara Adisutjipto Yogyakarta (YIA), perjalanan bisa dilakukan menggunakan taksi atau transportasi online, dengan waktu tempuh sekitar 1,5 hingga 2 jam. Turis juga bisa menggunakan bus wisata yang sering disediakan oleh agen perjalanan internasional. Bagi turis yang datang dari Jakarta, perjalanan bisa dilakukan dengan kereta api dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Magelang, yang memakan waktu sekitar 6 hingga 7 jam, atau menggunakan pesawat ke Bandara Adisutjipto Yogyakarta, lalu melanjutkan perjalanan ke Candi Borobudur.
Candi Borobudur menawarkan berbagai fasilitas yang memadai untuk kenyamanan wisatawan, termasuk parkir luas, rumah makan, dan toilet. Akses ke candi ini cukup mudah, dengan adanya jalan setapak dan tangga yang menghubungkan berbagai area di kompleks candi, membuatnya mudah dijangkau oleh wisatawan dari segala usia. Dengan berbagai pilihan akses tersebut, pengunjung dapat dengan nyaman menuju salah satu situs warisan dunia ini, baik melalui jalur darat maupun udara.
Candi Prambanan
Candi Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 oleh Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno. Terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, candi ini didedikasikan untuk Trimurti: Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (pelebur). Arsitektur Prambanan sangat megah, dengan Candi Siwa sebagai bangunan utama setinggi 47 meter, dihiasi relief kisah Ramayana.
Selain nilai sejarahnya, Prambanan juga terkenal dengan legenda Roro Jonggrang, yang dikutuk menjadi arca Durga dalam Candi Siwa. Pada tahun 1991, UNESCO menetapkan Prambanan sebagai Situs Warisan Dunia. Hingga kini, candi ini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan budaya paling populer di Indonesia.
Struktur dan Gaya Arsitektur
Candi Prambanan dikenal dengan arsitektur khas Hindu yang menjulang tinggi, mencerminkan Gunung Meru, tempat tinggal para dewa dalam kepercayaan Hindu. Kompleks ini memiliki tiga candi utama yang mewakili Trimurti:
Candi Siwa (47 meter), yang terbesar dan paling megah, menampilkan arca Siwa Mahadewa dan relief kisah Ramayana.
Candi Brahma, yang lebih kecil, berisi arca Brahma dan relief lanjutan kisah Ramayana.
Candi Wisnu, melambangkan pemelihara alam semesta, berisi arca Wisnu dan relief cerita Kresna dan Baladewa.
Selain candi utama, terdapat candi-candi pendamping seperti Candi Nandi (lembu kendaraan Siwa), Candi Garuda (kendaraan Wisnu), dan Candi Angsa (kendaraan Brahma).
Sejarah Pembangunan Candi Prambanan
Candi Prambanan dibangun sekitar abad ke-9 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno. Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang raja Mataram dari Dinasti Sanjaya yang berkuasa sekitar tahun 840 M.
Latar Belakang Pembangunan
Pada masa itu, di Jawa tengah terdapat dua dinasti besar yang memiliki pengaruh kuat dalam bidang politik dan agama:
Dinasti Syailendra, yang menganut ajaran Buddha Mahayana dan mendirikan Candi Borobudur serta beberapa candi Buddha lainnya.
Dinasti Sanjaya, yang menganut agama Hindu dan membangun berbagai candi Hindu, termasuk Prambanan.
Setelah pernikahan politik antara Rakai Pikatan (dari Dinasti Sanjaya) dengan Pramodhawardhani (putri dari Dinasti Syailendra), Kerajaan Mataram menjadi lebih stabil. Meski awalnya Syailendra lebih dominan, Rakai Pikatan kemudian memperkuat kembali pengaruh Hindu dengan membangun Candi Prambanan sebagai simbol kejayaan Hindu dan sebagai tandingan dari Candi Borobudur yang bercorak Buddha.
Perkembangan Candi di Bawah Raja-Raja Selanjutnya
Setelah Rakai Pikatan, pembangunan Candi Prambanan dilanjutkan oleh penerusnya, termasuk Rakai Kayuwangi (885–887 M) dan Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911 M). Pada masa Rakai Balitung, kompleks Prambanan semakin diperluas dan berkembang menjadi pusat keagamaan Hindu terbesar di Jawa.
Di dalam Prasasti Siwagrha (856 M), disebutkan bahwa pembangunan candi ini didedikasikan untuk Siwa, salah satu dewa utama dalam Trimurti. Prasasti ini juga menggambarkan bahwa sekitar candi terdapat pemukiman pendeta dan tempat peribadatan Hindu yang berkembang pesat
Kejayaan dan Kemunduran
Candi Prambanan mencapai puncak kejayaan pada abad ke-10, tetapi mulai mengalami kemunduran saat pusat pemerintahan Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur pada akhir abad ke-10. Ada beberapa teori tentang penyebab perpindahan ini:
Letusan Gunung Merapi yang menghancurkan sebagian besar wilayah Mataram.
Perubahan politik akibat tekanan dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, yang membuat dinasti Mataram Kuno memilih memindahkan pusat kekuasaan ke Jawa Timur.
Bencana alam seperti gempa bumi, yang menyebabkan kerusakan pada struktur candi.
Seiring waktu, Candi Prambanan pun ditinggalkan dan mulai tertutup oleh vegetasi serta terkubur oleh tanah akibat gempa dan letusan gunung.
Penemuan Kembali Candi Prambanan
Setelah berabad-abad terlantar, Candi Prambanan ditemukan kembali oleh orang Eropa pada abad ke-18. Penemuan ini terjadi pada masa kolonial Belanda, saat mereka mulai mengeksplorasi peninggalan kuno di Jawa.
Eksplorasi Awal oleh Kolonial Belanda
Pada tahun 1733, seorang pejabat VOC bernama CA. Lons menjadi orang pertama yang melaporkan keberadaan reruntuhan candi di daerah Prambanan. Namun, saat itu tidak ada upaya lebih lanjut untuk menyelidikinya.
Pada tahun 1811, Colin Mackenzie, seorang surveyor Inggris yang bekerja di bawah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, mengadakan eksplorasi lebih lanjut terhadap candi ini. Mackenzie mencatat kondisi candi yang sudah tertutup tanah dan vegetasi, serta banyaknya batu yang berserakan.
Raffles, yang sangat tertarik dengan sejarah Jawa, memerintahkan penelitian lebih lanjut dan mencatat penemuan Prambanan dalam bukunya, The History of Java (1817).
Pada 1880-an, ilmuwan Belanda Isaac Groneman melakukan upaya penggalian dan dokumentasi awal terhadap Prambanan. Namun, sayangnya, banyak batu candi yang diambil atau dijual sebagai bahan bangunan dan suvenir.
Pemugaran Candi Prambanan
Upaya pemugaran Candi Prambanan baru dilakukan secara serius pada awal abad ke-20, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda menyadari nilai historisnya.
Pemugaran Tahap Awal (1918–1940-an)
1918: Pemerintah kolonial Belanda memulai usaha pemugaran awal, yang dipimpin oleh arkeolog PJ. Perquin. Namun, pemugaran saat itu belum menggunakan metode ilmiah yang ketat.
1930-an: Arkeolog Theodoor van Erp, yang sebelumnya juga terlibat dalam pemugaran Candi Borobudur, ikut menangani proyek ini. Ia mulai menyusun kembali beberapa bagian candi, tetapi kendala dana dan perang dunia menghentikan proses pemugaran.
Pemugaran Besar-besaran (1953–Sekarang)
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melanjutkan pemugaran dengan metode yang lebih sistematis.
Tahun 1953: Candi Siwa, candi utama, berhasil dipugar sepenuhnya dan diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Tahun 1980-an: Pemugaran Candi Brahma dan Candi Wisnu selesai.
Tahun 1991: Candi Prambanan resmi ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Pada tahun 2006, Gempa besar melanda Yogyakarta dan menyebabkan banyak bagian candi retak. Proses restorasi pasca-gempa dilakukan hingga beberapa tahun setelahnya.
Hingga kini, upaya pemugaran masih terus dilakukan, terutama untuk candi-candi kecil di sekitar kompleks utama. Tantangan terbesar dalam pemugaran adalah banyaknya batu asli yang hilang, sehingga beberapa bagian tidak bisa dipulihkan sepenuhnya.
Akses menuju lokasi Candi Prambanan
Candi Prambanan terletak di Desa Prambanan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Candi ini berada di jalur utama antara Yogyakarta dan Solo, menjadikannya salah satu destinasi wisata utama di Jawa Tengah. Dikenal dengan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, Candi Prambanan menawarkan pemandangan yang menakjubkan dengan latar belakang pegunungan Merapi yang menjulang tinggi. Candi ini mudah diakses dari berbagai titik di Yogyakarta dan merupakan tempat yang tak boleh dilewatkan bagi wisatawan yang ingin mengeksplorasi sejarah dan budaya Jawa.
Untuk Wisatawan Lokal
Candi Prambanan terletak sekitar 17 km timur Yogyakarta dan mudah diakses menggunakan berbagai moda transportasi. Bagi wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi, rute yang paling umum adalah melalui Jalan Raya Solo-Yogyakarta (Jalan Raya Prambanan). Dari pusat kota Yogyakarta, perjalanan menuju Prambanan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30-45 menit. Untuk yang ingin menggunakan transportasi umum, terdapat berbagai pilihan angkutan seperti bus kota, angkutan umum, dan taksi, yang dapat membawa wisatawan menuju kawasan candi.
Untuk Wisatawan Mancanegara
Bagi wisatawan mancanegara, Candi Prambanan dapat dijangkau dengan mudah melalui Bandara Internasional Adisutjipto di Yogyakarta, yang berjarak sekitar 10 km dari candi. Dari bandara, wisatawan bisa menggunakan taksi atau transportasi online menuju Prambanan. Selain itu, Yogyakarta juga terhubung dengan kereta api dari berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta dan Surabaya. Setelah tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, wisatawan bisa melanjutkan perjalanan dengan taksi atau transportasi umum ke Candi Prambanan.
Untuk kenyamanan tambahan, terdapat juga tur lokal yang menawarkan layanan antar-jemput dari berbagai hotel di Yogyakarta menuju Candi Prambanan. Dengan menggunakan tur ini, wisatawan dapat mengunjungi tempat-tempat bersejarah lainnya di sekitar Yogyakarta dengan panduan yang berpengalaman.
Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah kompleks candi Hindu yang terletak di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Candi ini terdiri dari sembilan candi yang tersebar di beberapa titik di sekitar kawasan pegunungan dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Candi Gedong Songo dikenal tidak hanya karena sejarahnya yang kaya, tetapi juga sebagai destinasi wisata yang menawarkan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah.
Letak Geografis
Candi Gedong Songo terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, sekitar 30 km dari pusat Kota Semarang. Candi ini berada pada ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut, yang menjadikannya salah satu tempat wisata sejarah dengan pemandangan alam yang luar biasa. Lokasi candi yang berada di kaki Gunung Ungaran memberikan pengalaman wisata yang tidak hanya bernilai sejarah, tetapi juga menawarkan keindahan alam pegunungan yang sejuk.
Sejarah Pembangunan
Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun pada abad ke-9, pada masa pemerintahan Dinasti Sanjaya dari kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan prasasti Canggal (732 M), yang ditemukan di sekitar kawasan, serta prasasti Kayumwun (832 M), diketahui bahwa wilayah ini merupakan pusat penyebaran agama Hindu yang penting pada masa itu.
Prasasti-prasasti ini menyebutkan tentang pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu dan hubungan antara kerajaan Mataram Kuno dengan pusat-pusat kebudayaan Hindu lainnya di Asia Tenggara. Arkeolog juga menemukan artefak-artefak, seperti arca dewa Siwa, Brahma, dan Vishnu, yang menambah bukti bahwa Gedong Songo merupakan situs pemujaan bagi dewa-dewa Hindu.
Penemuan Awal oleh Para Arkeolog
Candi Gedong Songo pertama kali ditemukan oleh seorang insinyur Belanda, J. C. M. de Lons, pada tahun 1804. Ia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kompleks candi ini meskipun saat itu candi-candi tersebut tertutup oleh vegetasi yang lebat. Penemuan ini kemudian menarik perhatian lebih lanjut dari para peneliti dan arkeolog.
Pada abad ke-19, H. F. A. de Vriese, seorang arkeolog Belanda, melakukan penelitian lebih mendalam terhadap situs ini. Ia menemukan sembilan candi utama yang tersebar di beberapa lokasi. Penemuan tersebut memberikan pemahaman awal tentang fungsi candi dan gaya arsitektur Hindu pada masa itu, meskipun sebagian besar candi telah rusak akibat erosi dan aktivitas alam.
Pemugaran
Sejak penemuan candi, pemugaran dan konservasi telah dilakukan beberapa kali untuk melestarikan struktur dan keindahan situs ini. Pada abad ke-19, de Vriese mulai melakukan upaya pemugaran, meskipun masih terbatas pada bagian-bagian tertentu yang rusak.
Pemugaran yang lebih signifikan dilakukan pada 1980-an dan 1990-an oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Tujuan pemugaran ini adalah untuk melindungi dan memulihkan struktur candi yang sudah rusak akibat cuaca dan aktivitas alam. Banyak candi yang diperbaiki sesuai dengan kondisi aslinya, meskipun ada beberapa bagian yang tidak dapat dipulihkan karena kerusakan yang parah.
Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara
Candi Gedong Songo dapat diakses dengan mudah baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Dari pusat Kota Semarang, wisatawan dapat menuju Kecamatan Bandungan, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Candi. Akses jalan menuju kompleks candi telah teraspal dengan baik, meskipun beberapa bagian jalan menanjak cukup curam.
Selain menggunakan kendaraan pribadi, wisatawan juga bisa menggunakan angkutan umum menuju Bandungan, meskipun transportasi umum terbatas. Di sekitar candi, terdapat layanan kuda yang bisa digunakan wisatawan untuk menjelajahi kawasan candi, memberikan pengalaman yang lebih menyenangkan.
Bagi wisatawan mancanegara, disarankan untuk menggunakan kendaraan pribadi atau sewa untuk mencapai lokasi karena akses transportasi umum lebih terbatas. Tiket masuk candi terjangkau bagi wisatawan lokal, namun sedikit lebih mahal untuk wisatawan mancanegara.
Candi Kalasan
Candi Kalasan adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Desa Kalasan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dibangun pada abad ke-8, candi ini merupakan salah satu candi Hindu-Buddha yang sangat bersejarah dan berfungsi sebagai tempat ibadah. Candi Kalasan dikenal dengan keindahan arsitektur stupa yang anggun dan hiasan relief yang memukau. Meskipun ukurannya tidak sebesar Candi Borobudur atau Prambanan, Candi Kalasan memiliki keistimewaan tersendiri, terutama dalam hal keterkaitan dengan perkembangan agama Buddha di Indonesia. Saat ini, candi ini menjadi destinasi wisata sejarah yang menarik, menawarkan nuansa ketenangan dan kedamaian bagi para pengunjung yang ingin menjelajahi warisan budaya Indonesia.
Sejarah Pembangunan
Candi Kalasan dibangun pada tahun 778 Masehi oleh Raja Tejahpurnama, penguasa Kerajaan Syailendra yang juga membangun Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Candi ini dipersembahkan untuk Buddha Mahāvīra dan berfungsi sebagai wihara untuk biksu-biksu yang menjalankan kehidupan religius. Candi Kalasan memiliki arsitektur yang dipengaruhi oleh gaya Buddha Mahāyāna, dengan adanya relief yang menggambarkan ajaran Buddha. Keistimewaan lain dari candi ini adalah adanya stupa utama yang megah dan sebuah gedung peribadatan yang dihubungkan dengan serangkaian relung-relung kecil yang penuh dengan relief mengenai kehidupan Buddha.
Penemuan Kembali dan Pemugaran
Seperti banyak candi kuno lainnya, Candi Kalasan sempat terkubur dan terlupakan selama berabad-abad. Penemuan kembali candi ini dimulai pada tahun 1800-an oleh Raffles dan dilakukan penggalian lebih lanjut pada tahun 1913. Pemugaran candi dilakukan sejak tahun 1908, dengan tujuan mengembalikan struktur asli dan menjaga keutuhan relief yang sangat berharga. Pada pemugaran tersebut, stupa utama yang sempat hancur dapat dipulihkan, serta beberapa relief yang ditemukan kembali dan diukir dengan hati-hati. Saat ini, Candi Kalasan telah menjadi salah satu situs yang dijaga kelestariannya, meski beberapa bagian masih dalam tahap restorasi untuk memperbaiki kerusakan akibat bencana alam dan faktor usia.
Fungsi dan Status Saat Ini
Saat ini, Candi Kalasan tidak hanya berfungsi sebagai tempat wisata sejarah, tetapi juga sebagai situs pendidikan mengenai perkembangan agama Buddha di Indonesia. Candi ini menjadi bagian dari warisan budaya dunia dan sering menjadi objek penelitian untuk mempelajari sejarah dan arsitektur candi-candi Buddha. Banyak wisatawan yang mengunjungi Candi Kalasan untuk melihat relief-reliefnya yang mengisahkan ajaran Buddha serta untuk menikmati ketenangan yang ditawarkan oleh lingkungan sekitarnya yang hijau dan asri. Candi Kalasan adalah contoh nyata dari kemegahan arsitektur dan kebudayaan Buddha yang berkembang di Indonesia pada masa lalu.
Akses Menuju Candi Kalasan
Candi Kalasan terletak sekitar 5 km dari Candi Prambanan dan dapat dicapai dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum. Dari Stasiun Tugu Yogyakarta, perjalanan ke Candi Kalasan dapat memakan waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan taksi atau angkutan kota. Candi ini terletak di sisi jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dengan Bandung. Bagi wisatawan mancanegara, dari Bandara Adisutjipto, Anda dapat menuju Candi Kalasan dengan taksi atau transportasi online dalam waktu sekitar 20 menit. Situs ini bisa dikunjungi setiap hari dan tiket masuknya cukup terjangkau, menjadikannya tempat yang sempurna bagi wisatawan yang ingin mengeksplorasi kekayaan sejarah Buddha di Yogyakarta.
Candi Sewu
Candi Sewu adalah kompleks candi Buddha terbesar kedua di Indonesia setelah Candi Borobudur. Meskipun namanya berarti "seribu candi," jumlah sebenarnya adalah 249 candi, terdiri dari satu candi utama, delapan candi pengapit, dan 240 candi perwara. Dibangun pada abad ke-8 oleh Dinasti Syailendra, candi ini menunjukkan kejayaan arsitektur Buddha di Nusantara.
Letak Geografis
Candi Sewu terletak di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tepatnya di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Candi ini hanya berjarak sekitar 800 meter di sebelah utara Candi Prambanan dan sering dianggap sebagai bagian dari kompleks tersebut.
Koordinat: 7°44′43″S 110°29′29″E
Jarak dari kota terdekat:
± 17 km dari Kota Yogyakarta
± 45 km dari Kota Solo
± 30 km dari Kota Klaten
Sejarah Pembangunan Berdasarkan Prasasti Manjusrigrha
Prasasti Manjusrigrha ditemukan di daerah Gunung Rara, Jawa Tengah, dan diperkirakan berasal dari abad ke-8. Prasasti ini sangat penting karena menjadi bukti tertulis mengenai pembangunan Candi Sewu.
Prasasti Manjusrigrha dikeluarkan oleh Raja Indra, yang merupakan salah satu penguasa dari Dinasti Syailendra, yang berkuasa di Jawa pada masa itu. Prasasti ini menyebutkan bahwa Raja Indra membangun sebuah vihara besar untuk memperingati Manjusrigrha, yang dianggap sebagai lokasi suci dalam ajaran Buddha. Vihara ini diyakini sebagai Candi Sewu, yang memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, ibadah, serta tempat tinggal para biksu Buddha.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait pembangunan Candi Sewu berdasarkan prasasti tersebut:
Vihara untuk Manjusrigrha
Prasasti tersebut menyebutkan bahwa vihara yang dibangun adalah untuk menghormati Manjusri, Bodhisattva kebijaksanaan, yang sangat dihormati dalam tradisi Buddha Mahayana. Pembangunan vihara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap ajaran Buddha dan untuk menyediakan tempat bagi umat Buddha untuk belajar dan beribadah.
Fungsi Candi Sewu
Berdasarkan prasasti tersebut, Candi Sewu diperkirakan memiliki fungsi yang sangat penting sebagai pusat pembelajaran dan ibadah agama Buddha. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, candi ini juga menjadi tempat untuk para pendeta atau biksu untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan keagamaan.
Kehidupan Sosial dan Keagamaan
Prasasti ini juga memberikan gambaran mengenai kehidupan sosial dan keagamaan pada masa itu, dengan menyebutkan bagaimana candi dan vihara tersebut digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan spiritual.
Pembangunan yang Didukung oleh Kerajaan
Prasasti ini juga mengungkapkan bahwa pembangunan candi ini mendapat dukungan penuh dari Raja Indra, yang memiliki kekuasaan besar pada masa itu. Pembangunan candi ini juga terkait erat dengan kegiatan politik dan agama kerajaan, yang ingin menunjukkan kekuasaannya serta meningkatkan penyebaran ajaran Buddha di wilayah tersebut.
Dengan demikian, Prasasti Manjusrigrha tidak hanya memberikan bukti tentang pembangunan Candi Sewu, tetapi juga memperlihatkan pentingnya tempat ini dalam konteks keagamaan dan budaya pada masa kerajaan Mataram Kuno.
Penemuan Kembali Candi Sewu
Candi Sewu, seperti banyak situs bersejarah lainnya, sempat terlupakan selama berabad-abad setelah terjadinya bencana alam dan terkubur oleh letusan Gunung Merapi. Penemuan kembali candi ini merupakan proses yang panjang, yang dimulai pada masa penjajahan Belanda.
Penemuan awal
Pada awal abad ke-19, para penjelajah Eropa dan arkeolog mulai mengidentifikasi dan mendokumentasikan peninggalan-peninggalan sejarah yang tersembunyi di Indonesia. Candi Sewu pertama kali ditemukan oleh arkeolog Belanda Casparis, yang melakukan penelitian terhadap kompleks Candi Prambanan pada tahun 1813.
Selama masa penemuan awal, candi ini hampir sepenuhnya tertutup oleh semak-semak lebat dan lumpur vulkanik akibat letusan Gunung Merapi. Hanya beberapa bagian dari candi yang terlihat, dan banyak arca serta reliefnya ditemukan dalam kondisi rusak atau hilang. Namun, meskipun begitu, penemuan ini memicu minat terhadap situs ini dan menunjukkan betapa pentingnya Candi Sewu dalam konteks sejarah peradaban Buddha di Indonesia.
Penemuan oleh J.G. de Casparis
Sejak abad ke-19, peneliti seperti J.G. de Casparis mulai menggali lebih dalam dan melakukan ekskavasi. Pada tahun 1930-an, proses pemugaran pertama dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda, meskipun pada waktu itu sebagian besar struktur candi masih tertutup tanah dan pohon-pohon besar.
Ekskavasi dan Pemugaran Modern
Setelah Indonesia merdeka, Candi Sewu mengalami berbagai kali ekskavasi dan restorasi. Pada tahun 1970-an, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) bersama tim arkeolog Indonesia mulai menggali dan memugar situs ini dengan lebih intensif. Pemugaran besar-besaran dilakukan setelah gempa Yogyakarta pada tahun 2006 yang menyebabkan kerusakan pada beberapa bagian candi, terutama di candi utama.
Pada tahun 2000-an, dengan bantuan teknologi dan metode modern, banyak bagian candi yang berhasil dipulihkan, termasuk relung-relung yang mengandung relief-relief Buddha yang memukau. Pemerintah dan lembaga arkeologi terus berupaya menjaga dan melestarikan situs ini agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang.
Konservasi dan Restorasi Lanjutan
Pemugaran candi masih berlangsung hingga kini dengan menggunakan teknik konservasi yang hati-hati, untuk memastikan struktur candi tetap terjaga. Selain itu, beberapa arca yang rusak atau hilang telah diganti dengan replika, sementara beberapa relief yang masih dapat diselamatkan dipindahkan untuk perlindungan lebih lanjut.
Secara keseluruhan, proses penemuan kembali dan pemugaran Candi Sewu mengungkapkan kembali keindahan dan keagungannya sebagai salah satu situs Buddha terbesar di Indonesia, yang memberikan gambaran jelas tentang sejarah dan kebudayaan pada masa Dinasti Syailendra.
Kondisi saat ini
Candi Sewu saat ini berada dalam kondisi yang jauh lebih baik berkat upaya pemugaran dan konservasi yang terus dilakukan. Candi utama dan candi-candi pengapit yang berada di sekitar candi utama telah dipugar dan memperlihatkan keindahan arsitektur yang megah, meskipun beberapa candi perwara lainnya masih membutuhkan perawatan lebih lanjut. Relief-relief yang menggambarkan ajaran Buddha dan patung-patung Buddha yang disusun simetris dapat ditemukan di sekitar kompleks candi. Infrastruktur di sekitar Candi Sewu juga telah diperbaiki, dengan jalan yang lebih baik, tempat parkir, dan area istirahat yang membuat pengunjung semakin nyaman.
Sebagai destinasi wisata sejarah yang populer, Candi Sewu kini menjadi bagian dari Taman Wisata Candi Prambanan dan menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Peningkatan fasilitas dan akses, ditambah dengan kegiatan budaya dan pendidikan yang diadakan di sana, semakin meningkatkan popularitas situs ini. Upaya pelestarian oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) terus berlanjut, memastikan bahwa Candi Sewu tetap terjaga sebagai salah satu situs warisan budaya Indonesia yang penting.
Candi Penataran
Candi Penataran adalah candi Hindu terbesar di Jawa Timur yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Candi ini memiliki kompleks bangunan yang terdiri dari beberapa teras, dihiasi dengan berbagai relief yang menggambarkan cerita-cerita epik Hindu, seperti Ramayana dan Mahabharata. Candi ini didedikasikan untuk pemujaan dewa Siwa dan diperkirakan dibangun pada abad ke-12 selama masa pemerintahan Kerajaan Kediri.
Candi Penataran memiliki arsitektur khas Hindu, dengan bagian puncak candi yang menyerupai pagoda. Terdapat banyak relief di dinding candi yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, upacara keagamaan, dan kisah mitologi Hindu. Candi ini menjadi tempat penting untuk ritual keagamaan pada masa itu.
Letak Geografis
Candi Penataran terletak sekitar 10 km sebelah utara pusat Kota Blitar, tepatnya di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini dapat dijangkau dengan mudah melalui jalan raya yang menghubungkan Blitar dengan daerah sekitar, seperti Garum dan Nglegok. Candi ini berada di lereng Gunung Kelud, memberikan latar belakang yang indah dengan suasana alam yang tenang.
Sejarah Pembangunan
Candi Penataran dibangun pada abad ke-12, selama masa pemerintahan Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Candi ini didedikasikan untuk pemujaan dewa Siwa dan diperkirakan dibangun secara bertahap dalam kurun waktu yang cukup lama. Candi ini memiliki desain yang kompleks, terdiri dari beberapa teras dan dihiasi dengan relief yang menceritakan kisah-kisah epik Hindu, serta kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masa itu.
Pembangunan Candi Penataran mencerminkan kejayaan Kerajaan Kediri, yang saat itu menjadi pusat agama Hindu di Jawa Timur. Selama masa tersebut, candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan, serta pusat upacara dan kegiatan keagamaan bagi masyarakat.
Pemugaran
Setelah terabaikan selama beberapa abad, Candi Penataran ditemukan kembali pada abad ke-19. Pemugaran besar-besaran dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada abad ke-20 untuk melestarikan situs ini. Pemugaran tersebut bertujuan untuk mengembalikan struktur bangunan yang rusak dan memelihara relief-relief yang ada. Berbagai bagian yang hancur karena cuaca dan faktor lainnya dipulihkan agar candi ini tetap lestari sebagai warisan budaya yang penting.
Kondisi Saat Ini
Saat ini, Candi Penataran dalam kondisi yang cukup baik setelah melalui pemugaran dan pelestarian yang intensif. Candi ini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang populer di Jawa Timur, menarik pengunjung baik dari dalam maupun luar negeri. Meskipun ada beberapa bagian yang masih tampak rusak, sebagian besar struktur candi dan relief-reliefnya telah dipulihkan dengan baik. Keindahan arsitektur dan relief yang ada di candi ini terus memikat pengunjung.
Relief-relief yang menggambarkan kisah-kisah Hindu dan kehidupan masyarakat pada masa itu masih dapat dilihat dengan jelas, memberikan wawasan yang berharga mengenai budaya dan agama Hindu pada masa Kerajaan Kediri.
Akses Menuju Lokasi
Candi Penataran dapat diakses dengan mudah menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Dari pusat Kota Blitar, pengunjung dapat menuju ke Desa Penataran dengan mengikuti jalur jalan raya yang mengarah ke Nglegok dan Garum. Terdapat tanda petunjuk yang memudahkan pengunjung menuju lokasi candi.
Jika menggunakan kendaraan pribadi, perjalanan dari Kota Blitar menuju Candi Penataran memakan waktu sekitar 20-30 menit. Untuk wisatawan yang menggunakan transportasi umum, mereka dapat naik angkutan umum menuju daerah Nglegok, lalu melanjutkan perjalanan dengan ojek atau kendaraan lainnya menuju lokasi candi.
Candi Penataran buka setiap hari, dan tiket masuknya relatif terjangkau. Terdapat pula fasilitas parkir yang memadai bagi pengunjung yang datang menggunakan kendaraan pribadi.
Dengan akses yang mudah dan keindahan sejarah yang ditawarkan, Candi Penataran menjadi salah satu tujuan wisata sejarah yang menarik di Jawa Timur.
________________________________________
Menelusuri candi-candi bersejarah di Indonesia bukan hanya tentang melihat keindahan arsitektur masa lalu, tetapi juga memahami nilai budaya, spiritualitas, dan perjalanan panjang peradaban yang membentuk identitas bangsa. Setiap candi memiliki kisah uniknya sendiri, tentang kejayaan kerajaan, ajaran kepercayaan, hingga proses pelestarian yang terus dilakukan hingga kini.
Sebagai warisan sejarah yang abadi, candi-candi ini tidak hanya menjadi saksi bisu masa lampau, tetapi juga pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga dan menghormati peninggalan nenek moyang. Dengan melestarikan candi-candi ini, kita turut menjaga bagian penting dari sejarah Indonesia agar tetap hidup dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Semoga artikel ini dapat menambah wawasan dan menginspirasi Anda untuk menjelajahi lebih dalam tentang keajaiban sejarah yang tersebar di seluruh negeri. Jika ada candi favorit yang menurut Anda patut masuk dalam daftar ini, jangan ragu untuk berbagi pendapat!
Belum ada Komentar untuk "Menelusuri 7 Candi Terkenal di Indonesia: Warisan Sejarah yang Abadi"
Posting Komentar